Awal Ramadan pula, asam lambung saya sedikit kambuh. Hal ini juga cukup diperparah dengan kondisi gangguan cemas atau panik berlebih. Oleh karena itu, full selama sepuluh hari pertama di bulan Ramadan, makanan yang saya konsumsi tidak pernah lepas dari makanan rebus (labu siam dan wortel), protein yang tidak terlalu banyak digoreng, menghindari makanan bersantan, menghindari makanan manis berlebih/buatan, dan menghindari hidangan dingin. Namun, pada menjelang pertengahan Ramadan, saya mulai 'nakal' karena menganggap sudah sehat dan merasa boleh sekali-kali 'melanggar aturan'. Saya request pada suami untuk dibelikan gorengan dan ayam krispi (saking kangennya makan gorengan). Saya juga mencicip hidangan berbuka dengan tambahan es batu. Lalu, saya juga melahap hidangan soto dan nasi uduk yang diberikan oleh tetangga (siapa yang ga nolak ya).
Entah penyebabnya dari mana (yang jelas dari kebandelan saya melahap makanan beraneka ragam sekaligus), ditambah saat itu kurang mengonsumsi makanan yang berserat, saya akhirnya mengalami konstipasi alias sembelit. Hal yang selama ini saya anggap remeh karena di benak saya, sembelit bisa dengan mudah disembuhkan. Nyatanya? Hampir setengah bulan saya berusaha menyembuhkan dan membereskan masalah pencernaan, salah satunya masalah sembelit tersebut.
Saya kaget karena sembelit yang saya alami juga disertai dengan lelah, pusing, jantung berdebar hingga mual setiap kali merasa mules. Pada awal-awal gejala itu terjadi, saya bahkan tidak bisa berjalan, duduk hingga salat secara normal (mirip seperti gejala ambeyen juga). Butuh waktu selama tiga hari sembelit mulai teratasi meski belum sepenuhnya sembuh. Meski saya belum berpengalaman melahirkan, rasa sakit dan ekspresi saat mules mirip seperti ekspresi para aktor saat akting melahirkan, alias sakit banget.
Saat sakit itulah, saya akhirnya berkontempelasi dengan diri sendiri. Ternyata selama ini, saya banyak lupa dan tidak bersyukur. Padahal, semua organ tubuh yang bekerja dengan baik sesuai sistemnya masing-masing ini adalah salah satu nikmat terdekat dan terbesar yang luput saya syukuri. Dapat buang air dengan lancar dan tenang sudah dianggap sebuah kebiasaan dan kewajaran sebagai siklus hidup manusia. Padahal, saat Allah mencabut nikmat itu (meski hanya satu), tubuh berasa lumpuh. Semua aktivitas terganggu.
Pada masa-masa itu, pikiran saya berfokus hanya dua: menahan rasa sakit dan takut mati. Overthinking dan perasaan lain menjadi terabaikan dan perlahan hilang. Saya akhirnya benar-benar fokus memikirkan diri saya sendiri, termasuk memikirkan kesehatan dan kebahagiaan saya. Saat itu pula, saya menjadi sadar bahwa tiap-tiap orang punya tangga dan capaian yang berbeda. Setiap orang punya skenario dan dunia yang berbeda. Juga punya masalah yang berbeda. Dengan kondisi sakit itu, saya mulai menghargai semua suka-duka yang saya alami, yang tak pernah dirasakan orang lain dan tak mungkin dipahami oleh orang lain. Dengan bantuan dan berkat kesabaran suami, saya mulai menyadari bahwa diri saya berharga dan tidak patut dibandingkan dengan orang lain, apa pun bentuknya. Perjuangan saya (dan suami) sangat berharga dan tidak patut dibandingkan dengan perjuangan orang lain, apa pun bentuknya. Biarkan hanya Allah yang menilai dan menentukan.
Saya berusaha husnuzan bahwa sakit yang saya alami kemarin adalah cara Allah mendidik saya, mungkin pula sebagai jawaban doa saya. Semoga Allah rida dan senantiasa membantu saya untuk berhati dan berpikiran selalu jernih, bersih, dan luwes, terhadap semua yang terjadi. Semoga ujian sakit dan ujian-ujian lain menjadi penghapus dosa-dosa kami. Allaahumma ajurnii fi mushiibatii, wa akhlif lii khayran minha.
2 Comments
ya Allah sehat-sehat yaa kak
ReplyDeleteAamiin Kak, sehat-sehat juga yaa
Delete